Antara pedagang dan pembaca buku, siapakah sebenarnya yang lebih mencintai buku? Jika pertanyaan itu diajukan pada kita, mayoritas pasti akan menjawab, pembaca buku lebih etis mendapat predikat sebagai pecinta buku.
Pasalnya, pembaca buku adalah pribadi-pribadi yang rela merogoh kocek, meluangkan waktu, bersedia dalam kesendirian, serta mengerahkan tenaga pikiran sambil berkonsentrasi sekedar untuk mengakrabi semesta buku. Aktivitas bolak-bolik antara membaca dan membeli buku, mengapresiasikan dan menganktualisasikan isi buku, merupakan ekspresi cinta seseorang terhadap buku. Frekuensi membeli dan membaca, dengan demikian, menjadi parameter seberapa besar cinta dan keintiman seseorang akan buku.
Berbeda dengan pembaca buku, rutinitas pedagang buku sama sekali jauh dari kesibukan membaca, memahami, mengapresiasi, dan mengaktulisasikan apa yang mungkin di dapat dalam tiap judul buku di etalase mereka. Seperti umumnya pedagang, nalar pedagang buku adalah nalar profit, dengan strategi memainkan modal menjadi laba. Konsekuensinya, seberapa tinggi tingkat frekuensi pedagang membeli buku, tidak menunjukkan kecintaannya akan buku, karena motif pedagang adalah profit.
Di tangan pembacanya, buku merupakan barang mentah dimana gagasannya harus diolah terlebih dahulu (baca:diaktualkan) untuk diproduksi menjadi bentuk komoditas baru, baik itu komoditas bisnis, intelektual, atau bahkan spiritual. Sementara di tangan pedagang, tiap judul buku adalah komoditas itu sendiri, tak lebih dari barang hasil produksi yang sudah final dan jadi, yang disetting menurut logika pasar untuk menggelembungkan aset. Membeli buku bagi pembaca adalah proyek masa depan, sementara membeli dan menjual buku bagi pedagang adalah proyek hari ini. Sampai di sini kita masih bertahan dengan mindset lama bahwa pecinta buku adalah mereka khalayak publik dari berbagai usia yang melek aksara, yang menjadikan buku sebagai pengisi kekosongan pemahaman akan realitas.
Selama ini kita berada di tengah pusaran frame yang menegaskan bahwa pembaca butuh buku untuk menyatakan identitasnya, sementara buku di sisi lain juga butuh pembaca untuk menuju titik eksistensinya yang tertinggi. Pembaca tanpa buku adalah nonsens, buku tanpa pembaca mungkin cuma "sampah." Hipotesa ini diperkuat oleh Joseph Bordsky sebagaimana dikutip Anton Kurnia (2005). Katanya, "Membakar buku adalah sebuah kejahatan, tapi lebih jahat lagi orang yang membiarkan buku tidak dibaca."
Namun hal itu bukan tidak bisa berubah. Konstruk relasi buku-pembaca seperti di atas akan mengalami koreksi ketika dimungkinkannya sebuah perspektif baru dalam cara kita memandang. Relasi buku-pembaca yang mensyaratkan adanya entitas cinta seperti yang kita pahami selama ini sebenarnya parsial karena tidak menyingkap realitas sebenarnya. Jika dicermati lebih jauh, tidak melulu lewat membaca sesungguhnya manusia dapat menghargai buku, tetapi lewat aktivitas di sekitar buku pula, seperti yang dilakukan pedagang buku, ditemukan kesadaran cinta akan buku.
Di Jogjakarta, seorang pedagang buku pantas menyandang penghargaan sebagi pedagang cinta buku. Yusuf Agency, begitulah perusahaannya ia beri nama, yang merupakan inisial dari namanya sendiri. Yusuf Agency merupakan agen penjualan "buku ramah pembaca" beraset lebih dari Rp.1 Milyar. Mantan pedagang buku asongan namun kini nasibnya membaik itu memiliki spirit cinta buku yang luar biasa, meski semua orang tau, dia tidak pernah menjadi pembaca dalam arti yang sebenarnya. Yusuf Agency awalnya menjadi pemborong buku-buku yang gagal di pasar, yang stoknya menumpuk di gudang-gudang penerbit dan distributor.
Namun lama-kelamaan buku-buku baru dengan kwalitas bagus juga disediakan, tentu dengan harganya yang berbeda bahkan dari penerbitnya sendiri. Yusuf Agency selalu berjaya ketika diselenggarakan event-event pameran buku di kota-kota besar seperti Jogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, Semarang, Bandung, bahkan Jakarta. Memang hanya waktu pameran itulah perusahaan itu melayani pembeli.
Agen pemasaran buku tersebut kerap menempelkan slogan provokatif yang membuat sesama saingan bisnisnya bergidik, slogan itu berbunyi; "Obral Buku Termurah se-Indonesia. Cuma Selama Pameran!" Dan itu bisa dibuktikan dengan membludaknya pengunjung di stand tersebut.
Tulisan ini tidak ingin mengulas profil Yusuf Agency secara detail mulai dari awal berdirinya hingga masa saat ini. Hanya saja, seorang pedagang buku seperti dirinya, dimana perhatian besarnya terhadap buku hanya dicurahkan untuk aktivitas selain membaca, masih dengan bangga mengatakan, "Dari saking cintanya sama buku, kemana-mana saya bawa buku. Siapa tahu ada orang butuh untuk dibaca", katanya. "Bahkan ketika chek-up ke rumah sakit, buku juga saya sertakan di mobil." Kenyataan bahwa buku mempunyai nilai serta fungsi yang beragam bagi pembacanya, hingga karenanya memiliki daya tawar yang tidak rendah, mungkin menjadi motif tersendiri bagi tiap pedagang untuk total menekuni bisnis perbukuan.
Tapi bukan itu semata yang menjadikan Yusuf Agency menjalin hubungan intim dengan buku. Pertarungan bisnis sebelum buku akhirnya dapat sampai ke tangan pembaca adalah momentum yang menegaskan karakter Yusuf Agency. Apakah menjaga budaya membaca masyarakat tetap tinggi dengan berusaha menghadirkan "buku ramah pembaca" sesuai tingkat ekonomi masyarakat, atau justru menjaga tradisi tiranik bisnis dunia perbukuan yang kerap disusupi hantu kapitalis? Jika pilihan jatuh pada yang pertama, hal tersebut akan menempatkan pedagang buku di posisi terhormat, seperti yang telah dirintis Yusuf Agency.
Ada beberapa hal harus dipenuhi untuk sampai kepada kearifan pedagang buku. Di antaranya adalah keberanian pedagang bertarung dengan kecendrungan pasar yang bengis untuk menyediakan buku dengan harga di bawah rata-rata. Strateginya ialah memutar modal dengan cepat dengan cara memperkecil selesih harga jual dan harga beli. Dalam bisnis dunia perbukuan yang lamban, strategi tersebur terbilang cukup cerdas. Jika pedagang, pengasong, atau pengusaha buku sanggup berbuat demikian, "credo cinta buku tanpa membaca" pantas ia sematkan. Dan untuk itu, sedikit banyak, Yusuf Agency telah mencoba merintisnya, bukan dengan menjual buku-buku murah tidak berkualitas, tetapi tetap dengan upaya menghadirkan buku-buku bermutu dengan harga yang lebih "ramah".
M. Sanusi, Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar