Jumat, 22 Agustus 2008

”Ini Masalah Perut”

Suasana pagi di dalam Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta-Bogor tidak seperti biasanya. Masih tersisa kelengangan di tengah banyaknya penumpang. Bagi mereka yang terbiasa naik KRL pastilah merasa ada sesuatu yang tidak lengkap di dalam gerbong. Timbul pertanyaan: di manakah para pedagang asongan dan pengemis?

Senin (11/2) PT Kereta Api (Persero) menggelar penertiban pedagang dan pengemis yang sering mangkal di dalam KRL. Di setiap stasiun pastilah terlihat petugas berseragam biru muda dengan wajah waspada. Mereka awas terhadap para pedagang dan pengemis. Tidak boleh seorang pun pedagang dan pengemis masuk ke dalam KRL.

Di perempatan Manggarai Utara depan Stasiun Manggarai, Acep (40) berjalan kaki sembari menghisap rokok. Ayah dua anak ini sehari-harinya mengumpulkan uang dari berdagang rokok, tisu, dan permen. Enam tahun sudah ia keluar masuk KRL menjajakan dagangannya. Namun, langkahnya terhenti saat subuh hendak mengantarnya masuk ke Stasiun Manggarai. Operasi penertiban dijalankan, begitu yang ia dengar dari temannya. Ia balik badan pulang ke rumah.

”Saya udah tahu bakal ada penertiban tiga hari yang lalu. Cuma saya kaget ternyata beneran kejadian. Bingung saya mau cari makan di mana,” ungkap Acep.

Baru saja awal bulan ini ia membeli barang-barang dagangannya dengan modal Rp200.000. Acep sadar pekerjaannya memang tidak resmi. Namun, saat teman-temannya sibuk membicarakan operasi penertiban pedagang, ia bertanya-tanya: Mengapa petugas stasiun tidak menertibkan para pedagang dan pengemis sejak dulu? Mengapa saat jumlah pedagang dan pengemis semakin banyak baru ada operasi penertiban? Pertanyaan itu tidak berani ia lontarkan ke hadapan petugas stasiun.

Kan mereka yang berkuasa. Disuruh nggak boleh dagang, kita ikutin aja. Ini masalah perut. Saya dagang buat ngebelain perut,” tuturnya.

Tak jauh dari Acep berdiri, tampak kios jasa menjahit baju. Di dalamnya sebuah mesin jahit menderu dimainkan seorang ibu tua, Ibu Sudirman. Anaknya, Ipen (28), seorang pedagang teh botol di dalam KRL. Ia mulai berdagang sejak jam 9 pagi sampai kereta api terakhir menutup malam. Pada 1998 ia mulai berdagang minuman yang ia ambil dari Pasar Tuyul. Pasar itu tak seberapa jauh dari rumahnya di kawasan Manggarai Utara. Ipen tidak mendorong gerobak minuman sejak Senin (11/2) pagi. Kabar penertiban pedagang didengarnya dari mulut teman-temannya.

”Pemerintah maunya apa kita nggak tahu. Ini kan bisa matiin orang kecil,” ujar Ipen.

Suka tak suka Ipen harus tunduk pada operasi penertiban. Ia tak mau lagi pengalamannya ditangkap petugas terulang. Pernah satu kali ia tertangkap petugas dan dibawa ke Stasiun Juanda. Di sana barang dagangannya ditahan. Untuk menebus barang dagangan ia harus menyerahkan Rp50.000 kepada petugas.

Nasib pengemis sama saja dengan pedagang. Mereka tak boleh meminta-minta lagi di dalam kereta api. Arif (13) salah satunya. Sudah tiga bulan Arif mengemis di dalam KRL. Biasanya ia naik dari Stasiun Depok, turun di Stasiun Cikini. Sebelumnya Arif tak pernah membayangkan akan menjadi pengemis. Impiannya menjadi dokter buyar saat awal tahun lalu ayahnya sakit keras dan tidak bisa lagi menafkahi keluarganya. Arif turun tangan membantu ibunya mencari makan buat keempat adiknya. Adik terkecil baru berusia enam bulan.

”Tadi pagi udah nggak boleh naik kereta lagi. Katanya ada penertiban. Mau kasih makan apa adik-adik saya?”

Pertanyaan itu terlontar dari mulut Arif selesai ia mengemis di depan para mahasiswa UI yang duduk di halte bus. Ketika ditemui di pinggir jalan setapak menuju UI, pada sore hari, Arif sedang mengorek tanah menggunakan tangannya. Sejak pagi meminta-minta, Arif baru mendapat Rp6.000. Biasanya dalam satu hari mengemis, di dalam kereta saja, ia bisa memperoleh Rp15.000-Rp20.000.

Sejak operasi penertiban dimulai, banyak pedagang dan pengemis yang pasrah. Tapi tidak begitu dengan Erwin (32). Pedagang korek api ini main kucing-kucingan dengan petugas kereta api. Caranya ia membungkus dagangannya dengan kantong plastik hitam besar. Naiklah ia dari Stasiun Kota, membuka dagangannya, dan mulai berkeliling mencari pembeli. Bila kereta api tiba di Stasiun Jayakarta ia turun. Tunggu kereta berikutnya ia naik lagi terus sampai Stasiun Cikini. ”Permainan” itu terus ia lakukan sampai malam menjelang. Pemuda asal Bojong ini sudah kehabisan akal mencari uang dengan cara lain, kecuali dengan berdagang di dalam kereta api.

Sumber Hidup

Petugas-petugas di setiap stasiun kereta api telah bersiaga sejak pagi menghalau pedagang dan pengemis. Namun, masih ada satu dua pedagang dan pengemis yang berhasil masuk ke dalam KRL. Pedagang membungkus dagangannya dan berperilaku seolah-olah menjadi penumpang. Sedangkan pengemis bisa masuk saat kereta api diam di tengah perjalanan.

Di Stasiun Bogor pedagang masih bebas berkeliaran di dalam kereta api. Saat kereta api bergerak hendak meninggalkan stasiun, para pedagang keluar dari gerbong. Perjalanan dari Bogor sampai Depok UI gerbong kereta api tak seramai biasanya. Hanya ramai oleh para penumpang. Jauh sebelum masuk ke Stasiun Manggarai, barulah suara-suara pedagang terdengar di seantero gerbong KRL.

Para pedagang yang berhasil masuk menajamkan mata mewaspadai kedatangan petugas. Bila ada penumpang yang membeli, para pedagang mempercepat transaksi jual-beli. Dari pedagang koran, korek api, hiasan rambut, sampai pedagang salak berjualan di gerbong-gerbong bagian tengah. Mereka tak menjangkau gerbong-gerbong ujung.

Beberapa pedagang tak mau membuka informasi saat ditanyai keberhasilannya masuk KRL. Mereka enggan buka mulut karena takut diketahui petugas. Jika mereka terkena jeratan petugas, mereka yakin barang dagangannya akan ditahan petugas. Padahal barang dagangan itulah satu-satunya sumber hidup mereka. Sedangkan para pedagang dan pengemis yang tak bisa naik KRL tak tahu harus ke mana mencari uang. Beberapa dari mereka berharap ada kebijakan yang tepat dari pemerintah untuk mereka mencari sesuap nasi. Mereka tidak berharap mendapat banyak uang. Mereka hanya perlu sedikit uang untuk makan hari ini.


Gloria, Jakarta

Kredo Cinta Buku Tanpa Membaca

Antara pedagang dan pembaca buku, siapakah sebenarnya yang lebih mencintai buku? Jika pertanyaan itu diajukan pada kita, mayoritas pasti akan menjawab, pembaca buku lebih etis mendapat predikat sebagai pecinta buku.

Pasalnya, pembaca buku adalah pribadi-pribadi yang rela merogoh kocek, meluangkan waktu, bersedia dalam kesendirian, serta mengerahkan tenaga pikiran sambil berkonsentrasi sekedar untuk mengakrabi semesta buku. Aktivitas bolak-bolik antara membaca dan membeli buku, mengapresiasikan dan menganktualisasikan isi buku, merupakan ekspresi cinta seseorang terhadap buku. Frekuensi membeli dan membaca, dengan demikian, menjadi parameter seberapa besar cinta dan keintiman seseorang akan buku.

Berbeda dengan pembaca buku, rutinitas pedagang buku sama sekali jauh dari kesibukan membaca, memahami, mengapresiasi, dan mengaktulisasikan apa yang mungkin di dapat dalam tiap judul buku di etalase mereka. Seperti umumnya pedagang, nalar pedagang buku adalah nalar profit, dengan strategi memainkan modal menjadi laba. Konsekuensinya, seberapa tinggi tingkat frekuensi pedagang membeli buku, tidak menunjukkan kecintaannya akan buku, karena motif pedagang adalah profit.

Di tangan pembacanya, buku merupakan barang mentah dimana gagasannya harus diolah terlebih dahulu (baca:diaktualkan) untuk diproduksi menjadi bentuk komoditas baru, baik itu komoditas bisnis, intelektual, atau bahkan spiritual. Sementara di tangan pedagang, tiap judul buku adalah komoditas itu sendiri, tak lebih dari barang hasil produksi yang sudah final dan jadi, yang disetting menurut logika pasar untuk menggelembungkan aset. Membeli buku bagi pembaca adalah proyek masa depan, sementara membeli dan menjual buku bagi pedagang adalah proyek hari ini. Sampai di sini kita masih bertahan dengan mindset lama bahwa pecinta buku adalah mereka khalayak publik dari berbagai usia yang melek aksara, yang menjadikan buku sebagai pengisi kekosongan pemahaman akan realitas.

Selama ini kita berada di tengah pusaran frame yang menegaskan bahwa pembaca butuh buku untuk menyatakan identitasnya, sementara buku di sisi lain juga butuh pembaca untuk menuju titik eksistensinya yang tertinggi. Pembaca tanpa buku adalah nonsens, buku tanpa pembaca mungkin cuma "sampah." Hipotesa ini diperkuat oleh Joseph Bordsky sebagaimana dikutip Anton Kurnia (2005). Katanya, "Membakar buku adalah sebuah kejahatan, tapi lebih jahat lagi orang yang membiarkan buku tidak dibaca."

Namun hal itu bukan tidak bisa berubah. Konstruk relasi buku-pembaca seperti di atas akan mengalami koreksi ketika dimungkinkannya sebuah perspektif baru dalam cara kita memandang. Relasi buku-pembaca yang mensyaratkan adanya entitas cinta seperti yang kita pahami selama ini sebenarnya parsial karena tidak menyingkap realitas sebenarnya. Jika dicermati lebih jauh, tidak melulu lewat membaca sesungguhnya manusia dapat menghargai buku, tetapi lewat aktivitas di sekitar buku pula, seperti yang dilakukan pedagang buku, ditemukan kesadaran cinta akan buku.

Di Jogjakarta, seorang pedagang buku pantas menyandang penghargaan sebagi pedagang cinta buku. Yusuf Agency, begitulah perusahaannya ia beri nama, yang merupakan inisial dari namanya sendiri. Yusuf Agency merupakan agen penjualan "buku ramah pembaca" beraset lebih dari Rp.1 Milyar. Mantan pedagang buku asongan namun kini nasibnya membaik itu memiliki spirit cinta buku yang luar biasa, meski semua orang tau, dia tidak pernah menjadi pembaca dalam arti yang sebenarnya. Yusuf Agency awalnya menjadi pemborong buku-buku yang gagal di pasar, yang stoknya menumpuk di gudang-gudang penerbit dan distributor.

Namun lama-kelamaan buku-buku baru dengan kwalitas bagus juga disediakan, tentu dengan harganya yang berbeda bahkan dari penerbitnya sendiri. Yusuf Agency selalu berjaya ketika diselenggarakan event-event pameran buku di kota-kota besar seperti Jogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, Semarang, Bandung, bahkan Jakarta. Memang hanya waktu pameran itulah perusahaan itu melayani pembeli.

Agen pemasaran buku tersebut kerap menempelkan slogan provokatif yang membuat sesama saingan bisnisnya bergidik, slogan itu berbunyi; "Obral Buku Termurah se-Indonesia. Cuma Selama Pameran!" Dan itu bisa dibuktikan dengan membludaknya pengunjung di stand tersebut.

Tulisan ini tidak ingin mengulas profil Yusuf Agency secara detail mulai dari awal berdirinya hingga masa saat ini. Hanya saja, seorang pedagang buku seperti dirinya, dimana perhatian besarnya terhadap buku hanya dicurahkan untuk aktivitas selain membaca, masih dengan bangga mengatakan, "Dari saking cintanya sama buku, kemana-mana saya bawa buku. Siapa tahu ada orang butuh untuk dibaca", katanya. "Bahkan ketika chek-up ke rumah sakit, buku juga saya sertakan di mobil." Kenyataan bahwa buku mempunyai nilai serta fungsi yang beragam bagi pembacanya, hingga karenanya memiliki daya tawar yang tidak rendah, mungkin menjadi motif tersendiri bagi tiap pedagang untuk total menekuni bisnis perbukuan.

Tapi bukan itu semata yang menjadikan Yusuf Agency menjalin hubungan intim dengan buku. Pertarungan bisnis sebelum buku akhirnya dapat sampai ke tangan pembaca adalah momentum yang menegaskan karakter Yusuf Agency. Apakah menjaga budaya membaca masyarakat tetap tinggi dengan berusaha menghadirkan "buku ramah pembaca" sesuai tingkat ekonomi masyarakat, atau justru menjaga tradisi tiranik bisnis dunia perbukuan yang kerap disusupi hantu kapitalis? Jika pilihan jatuh pada yang pertama, hal tersebut akan menempatkan pedagang buku di posisi terhormat, seperti yang telah dirintis Yusuf Agency.

Ada beberapa hal harus dipenuhi untuk sampai kepada kearifan pedagang buku. Di antaranya adalah keberanian pedagang bertarung dengan kecendrungan pasar yang bengis untuk menyediakan buku dengan harga di bawah rata-rata. Strateginya ialah memutar modal dengan cepat dengan cara memperkecil selesih harga jual dan harga beli. Dalam bisnis dunia perbukuan yang lamban, strategi tersebur terbilang cukup cerdas. Jika pedagang, pengasong, atau pengusaha buku sanggup berbuat demikian, "credo cinta buku tanpa membaca" pantas ia sematkan. Dan untuk itu, sedikit banyak, Yusuf Agency telah mencoba merintisnya, bukan dengan menjual buku-buku murah tidak berkualitas, tetapi tetap dengan upaya menghadirkan buku-buku bermutu dengan harga yang lebih "ramah".

M. Sanusi, Jogjakarta.